Rabu, 25 November 2015

TUGAS IBD 2

Budaya Minangkabau adalah kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat Minangkabau dan berkembang di seluruh kawasan berikut daerah perantauan Minangkabau. Budaya ini merupakan salah satu dari dua kebudayaan besar di Nusantara yang sangat menonjol dan berpengaruh. Budaya ini memiliki sifat egaliter, demokratis, dan sintetik, yang menjadi anti-tesis bagi kebudayaan besar lainnya, yakni budaya Jawa yang bersifat feodal dan sinkretik.[1]

Berbeda dengan kebanyakan budaya yang berkembang di dunia, budaya Minangkabau menganut sistem matrilineal baik dalam hal pernikahan, persukuan, warisan, dan sebagainya.


Sejarah

Berdasarkan historis, budaya Minangkabau berasal dari Luhak Nan Tigo, yang kemudian menyebar ke wilayah rantau di sisi barat, timur, utara dan selatan dari Luhak Nan Tigo.[2] Saat ini wilayah budaya Minangkabau meliputi Sumatera Barat, bagian barat Riau (Kampar, Kuantan Singingi, Rokan Hulu), pesisir barat Sumatera Utara (Natal, Sorkam, Sibolga, dan Barus), bagian barat Jambi (Kerinci, Bungo), bagian utara Bengkulu (Mukomuko), bagian barat daya Aceh (Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Barat, Nagan Raya, dan Kabupaten Aceh Tenggara), hingga Negeri Sembilan di Malaysia.
Budaya Minangkabau pada mulanya bercorakkan budaya animisme dan Hindu-Budha. Kemudian sejak kedatangan para reformis Islam dari Timur Tengah pada akhir abad ke-18, adat dan budaya Minangkabau yang tidak sesuai dengan hukum Islam dihapuskan. Para ulama yang dipelopori oleh Haji Piobang, Haji Miskin, dan Haji Sumanik, mendesak Kaum Adat untuk mengubah pandangan budaya Minang yang sebelumnya banyak berkiblat kepada budaya animisme dan Hindu-Budha, untuk berkiblat kepada syariat Islam. Budaya menyabung ayam, mengadu kerbau, berjudi, minum tuak, diharamkan dalam pesta-pesta adat masyarakat Minang.
Reformasi budaya di Minangkabau terjadi setelah Perang Padri yang berakhir pada tahun 1837. Hal ini ditandai dengan adanya perjanjian di Bukit Marapalam antara alim ulama, tokoh adat, dan cadiak pandai (cerdik pandai). Mereka bersepakat untuk mendasarkan adat budaya Minang pada syariat Islam. Kesepakatan tersebut tertuang dalam adagium Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Syarak mangato adat mamakai. (Adat bersendikan kepada syariat, syariat bersendikan kepada Al-Quran). Sejak reformasi budaya dipertengahan abad ke-19, pola pendidikan dan pengembangan manusia di Minangkabau berlandaskan pada nilai-nilai Islam. Sehingga sejak itu, setiap kampung atau jorong di Minangkabau memiliki masjid, selain surau yang ada di tiap-tiap lingkungan keluarga. Pemuda Minangkabau yang beranjak dewasa, diwajibkan untuk tidur di surau. Di surau, selain belajar mengaji, mereka juga ditempa latihan fisik berupa ilmu bela diri pencak silat.

Produk kebudayaan

A. Kemasyarakatan dan filosofi

Kepemimpinan

Acara Batagak Penghulu untuk mengukuhkan pemimpin kaum di Minangkabau
Masyarakat Minangkabau memiliki filosofi bahwa "pemimpin itu hanyalah ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah." Artinya seorang pemimpin haruslah dekat dengan masyarakat yang ia pimpin, dan seorang pemimpin harus siap untuk dikritik jika ia berbuat salah.[3] Dalam konsep seperti ini, Minangkabau tidak mengenal jenis pemimpin yang bersifat diktator dan totaliter. Selain itu konsep budaya Minangkabau yang terdiri dari republik-republik mini, dimana nagari-nagari sebagai sebuah wilayah otonom, memiliki kepala-kepala kaum yang merdeka. Mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama, serta dipandang sejajar di tengah-tengah masyarakat.
Dengan filosofi tersebut, maka Minangkabau banyak melahirkan pemimpin-pemimpin yang amanah di berbagai bidang, baik itu politik, ekonomi, kebudayaan, dan keagamaan. Sepanjang abad ke-20, etnis Minangkabau merupakan salah satu kelompok masyarakat di Indonesia yang paling banyak melahirkan pemimpin dan tokoh pelopor.[4] Mereka antara lain : Tan Malaka, Mohammad Hatta, Yusof Ishak, Tuanku Abdul Rahman, Sutan Sjahrir, Agus Salim, Assaat, Hamka, Mohammad Natsir, Muhammad Yamin, Abdul Halim dan lain-lain.

Pendidikan

Budaya Minangkabau mendorong masyarakatnya untuk mencintai pendidikan dan ilmu pengetahuan. Sehingga sejak kecil, para pemuda Minangkabau telah dituntut untuk mencari ilmu. Filosofi Minangkabau yang mengatakan bahwa "alam terkembang menjadi guru", merupakan suatu adagium yang mengajak masyarakat Minangkabau untuk selalu menuntut ilmu. Pada masa kedatangan Islam, pemuda-pemuda Minangkabau selain dituntut untuk mempelajari adat istiadat juga ditekankan untuk mempelajari ilmu agama. Hal ini mendorong setiap kaum keluarga, untuk mendirikan surau sebagai lembaga pendidikan para pemuda kampung.[5]
Setelah kedatangan imperium Belanda, masyarakat Minangkabau mulai dikenalkan dengan sekolah-sekolah umum yang mengajarkan ilmu sosial dan ilmu alam. Pada masa Hindia-Belanda, kaum Minangkabau merupakan salah satu kelompok masyarakat yang paling bersemangat dalam mengikuti pendidikan Barat. Oleh karenanya, di Sumatera Barat banyak didirikan sekolah-sekolah baik yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta.
Semangat pendidikan masyarakat Minangkabau tidak terbatas di kampung halaman saja. Untuk mengejar pendidikan tinggi, banyak di antara mereka yang pergi merantau. Selain ke negeri Belanda, Jawa juga merupakan tujuan mereka untuk bersekolah. Sekolah kedokteran STOVIA di Jakarta, merupakan salah satu tempat yang banyak melahirkan dokter-dokter Minang. Data yang sangat konservatif menyebutkan, pada periode 1900 – 1914, ada sekitar 18% lulusan STOVIA merupakan orang-orang Minang.[6]

Kewirausahaan

Orang Minangkabau dikenal sebagai masyarakat yang memiliki etos kewirausahaan yang tinggi. Hal ini terbukti dengan banyaknya perusahaan serta bisnis yang dijalankan oleh pengusaha Minangkabau di seluruh Indonesia. Selain itu banyak pula bisnis orang-orang Minang yang dijalankan dari Malaysia dan Singapura. Wirausaha Minangkabau telah melakukan perdagangan di Sumatera dan Selat Malaka, sekurangnya sejak abad ke-7. Hingga abad ke-18, para pedagang Minangkabau hanya terbatas berdagang emas dan rempah-rempah. Meskipun ada pula yang menjual senjata ke Kerajaan Malaka, namun jumlahnya tidak terlalu besar.[7] Pada awal abad ke-18, banyak pengusaha-pengusaha Minangkabau yang sukses berdagang rempah-rempah. Di Selat Malaka, Nakhoda Bayan, Nakhoda Intan, dan Nakhoda Kecil, merupakan pedagang-pedagang lintas selat yang kaya. Kini jaringan perantauan Minangkabau dengan aneka jenis usahanya, merupakan salah satu bentuk kewirausahaan yang sukses di Nusantara. Mereka merupakan salah satu kelompok pengusaha yang memiliki jumlah aset cukup besar.[8]. Pada masa-masa selanjutnya budaya wirausaha Minangkabau juga melahirkan pengusaha-pengusaha besar diantaranya Hasyim Ning, Rukmini Zainal Abidin, Anwar Sutan Saidi, Abdul Latief, Fahmi Idris, dan Basrizal Koto. Pada masa Orde Baru pengusaha-pengusaha dari Minangkabau mengalami situasi yang tidak menguntungkan karena tiadanya keberpihakan penguasa Orde Baru kepada pengusaha pribumi.

Demokrasi

Produk budaya Minangkabau yang juga menonjol ialah sikap demokratis pada masyarakatnya. Sikap demokratis pada masyarakat Minang disebabkan karena sistem pemerintahan Minangkabau terdiri dari banyak nagari yang otonom, dimana pengambilan keputusan haruslah berdasarkan pada musyawarah mufakat. Hal ini terdapat dalam pernyataan adat yang mengatakan bahwa "bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat". Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid pernah mengafirmasi adanya demokrasi Minang dalam budaya politik Indonesia. Sila keempat Pancasila yang berbunyi Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan ditengarai berasal dari semangat demokrasi Minangkabau, yang mana rakyat/masyarakatnya hidup di tengah-tengah permusyawaratan yang terwakil

DAFTAR PUSTAKA
  • A.A. Navis, Alam terkembang jadi Guru, Bandung, 1982
  • Thousands pictures of West Sumatra 
 Kato, Tsuyoshi (2005). Adat Minangkabau dan merantau dalam perspektif sejarah. PT Balai Pustaka. p. 21. ISBN 979-690-360-1.

https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_Minangkabau

Tidak ada komentar:

Posting Komentar