Minggu, 01 Mei 2016

PEMBAGIAN EKONOMI DAERAH DAN OTONOMI DAERAH



Otonomi daerah di Indonesia adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
UNDANG UNDANG OTONOMI DAERAH
Beberapa aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah:
  1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah
  2. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
  3. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
  4. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
  5. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
  6. Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
  7. Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai di tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses pergantian rezim (dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih demokratis). Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim Suharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan pada beberapa pilihan yaitu:
  1. melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah daerah, yang berarti mengurangi peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada daerah;
  2. pembentukan negara federal; atau
  3. membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat.
Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang mendasar mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat berbeda dengan prinsip undang-undang sebelumnya antara lain :
  1. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri.
  2. Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu, otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga memperhatikan keanekaragaman daerah.
  3. Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
  4. Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
  5. Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang selama ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah provinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya.
  6. Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat diselenggarakan di daerah provinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.
  7. Wilayah Provinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari garis pangkal pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut sebatas 1/3 wilayah laut provinsi
  8. Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD. Gubernur selaku kepala wilayah administratif bertanggung jawab kepada Presiden.
  9. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang berwenang.
  10. Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan dengan undang-undang.
  11. Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD.
  12. Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah.
  13. Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada provinsi otonomi yang terbatas. Kewenangan yang ada pada provinsi adalah otonomi yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau diselenggarakan dengan pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota. Misalnya kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan dan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya dalam skala provinsi termasuk berbagai kewenangan yang belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota.
  14. Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten sendiri maupun melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain DPRD, daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah, Lembaga Staf Teknis Daerah, seperti yang menangani perencanaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik daerah. Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan pada daerah. Lembaga pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep dihapus.
  15. Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat meminta Kepala Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala daerah setelah 2 (dua) kali tidak dapat diterima oleh DPRD.

Perubahan Penerimaan Daerah dan Peranan Pendapatan Asli Daerah
 Secara sederhana, perubahan APBD dapat diartikan sebagai upaya pemerintah daerah untuk menyesuaikan rencana keuangannya dengan perkembangan yang terjadi. Perkembangan dimaksud bisa berimplikasi pada meningkatnya anggaran penerimaan maupun pengeluaran, atau sebaliknya. Namun, bisa juga untuk mengakomodasi pergeseran-pergeseran dalam satu SKPD.
Perubahan atas setiap komponen APBD memiliki latar belakang dan alasan berbeda. Ada perbedaan alasan untuk perubahan anggaran pendapatan dan perubahan anggaran belanja. Begitu juga untuk alasan perubahan atas anggaran pembiayaan, kecuali untuk penerimaan pembiayaan berupa SiLPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu), yang memang menjadi salah satu alasan utama merngapa perubahan APBD dilakukan.
Perubahan atas pendapatan, terutama PAD bisa saja berlatarbelakang perilaku oportunisme para pembuat keputusan, khususnya birokrasai di SKPD dan SKPKD. Namun, tak jarang perubahan APBD juga memuat preferensi politik para politisi di parlemen daerah (DPRD). Anggaran pendapatan akan direvisi dalam tahun anggaran yang sedang berjalan karena beberapa sebab, diantaranya karena (a) tidak terprediksinya sumber penerimaan baru pada saat penyusunan anggaran, (b) perubahan kebijakan tentang pajak dan retribusi daerah, dan (c) penyesuaian target berdasarkan perkembangan terkini.
Ada beberapa kondisi yang menyebabkan mengapa perubahan atas anggaran pendapatan terjadi, di antaranya:
  1. Target pendapatan dalam APBD underestimated (dianggarkan terlalu rendah). Jika sebuah angkat untuk target pendapatan sudah ditetapkan dalam APBD, maka angka itu menjadi target minimal yang harus dicapai oleh eksekutif. Target dimaksud merupakan jumlah terendah yang “diperintahkan” oleh DPRD kepada eksekutif untuk dicari dan menambah penerimaan dalam kas daerah.
  2. Alasan penentuan target PAD oleh SKPD dapat dipahami sebagai praktik moral hazard yang dilakukan agency yang dalam konteks pendapatan adalah sebagai budget minimizer. Dalam penyusunan rancangan anggaran yang menganut konsep partisipatif, SKPD mempunyai ruang untuk membuat budget slack karena memiliki keunggulan informasi tentang potensi pendapatan yang sesungguhnya dibanding DPRD.
  3. Jika dalam APBD “murni” target PAD underestimated, maka dapat “dinaikkan” dalam APBD Perubahan untuk kemudian digunakan sebagai dasar mengalokasikan pengeluaran yang baru untuk belanja kegiatan dalam APBD-P. Penambahan target PAD ini dapat diartikan sebagai hasil evaluasi atas “keberhasilan” belanja modal dalam mengungkit (leveraging) PAD, khususnya yang terealiasai dan tercapai outcome-nya pada tahun anggaran sebelumnya.
Dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah, PAD seharusnya merupakan sumber utama keuangan daerah dalam membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan, sedangkan kekurangan pendanaan ditunjang dari dana perimbangan. Namun dalam kenyataannya, dana perimbangan merupakan sumber dana utama pemerintah daerah.
Untuk mengetahui tujuan dari peranan pendapatan ini adalah :
  • Untuk mengetahui peranan PAD sebagai sumber penerimaan dalam pembiayaan APBD .
  • Untuk mengetahui peranan DAU sebagai sumber penerimaan dalam pembiayaan APBD.
  • Untuk mengetahui apa saja usaha pemerintah  untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
  • Untuk mengetahui apa saja kendala yang dihadapi pemerintah  untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
  • Untuk mengetahui apa saja usaha pemerintah dalam hal mengatasi kendala dalam peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa :
  • Peranan PAD dalam APBD memberikan kontribusi rata-rata pertahunya 7,49 persen dengan adanya peningkatan kontribusi di tiap tahunya yaitu tertinggi pada tahun 2011 dengan kontribusi sebesar 9,37 persen.
  • Peranan DAU dalam APBD memberikan kontribusi rata-rata pertahunya 66,38 persen.
Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah  lebih banyak menggunakan DAU daripada PAD untuk belanja daerah. Secara umum kebijakan peningkatan Pendapatan Asli Daerah dari sektor pajak yang dilakukan oleh pemerintah  merupakan kebijakan dalam bentuk intensifikasi.
Sedangkan kendala yang dihadapi pemerintah  untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah antara lain masih rendahnya tingkat kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak daerah maupun retribusi daerah. Usaha pemerintah dalam hal mengatasi kendala dalam peningkatan Pendapatan Asli Daerah dilakukan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi.
Saran dalam penelitian ini adalah hendaknya pemerintah  perlu melakukan penyempurnaan pengelolaan pajak dan retribusi daerah yang berkaitan dengan perencanaan, sistem dan prosedur pelaksanaan pemungutan pelaporan dan pengawasan serta koordinasi antar instansi pengelola PAD.
PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL
Secara tradisional pembangunan memiliki arti peningkatan yang terus menerus pada Gross Domestic Product atau Produk Domestik Bruto suatu negara. Untuk daerah, makna pembangunan yang tradisional difokuskan pada peningkatan Produk Domestik Regional Bruto suatu provinsi, kabupaten, atau kota. 

    Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut. (Lincolin Arsyad, 1999).

    Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan ekonomi selain menciptakan pertumbuhan yang setinggi-tingginya, harus pula menghapus atau mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan tingkat pengangguran. Kesempatan kerja bagi penduduk atau masyarakat akan memberikan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Todaro, 2000).

    Masalah pokok dalam pembangunan daerah adalah terletak pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan dengan menggunakan potensi sumber daya manusia, kelembagaan, dan sumberdaya fisik secara lokal (daerah). Orientasi ini mengarahkan kita kepada pengambilan inisiatif-inisiatif yang berasal dari daerah tersebut dalam proses pembangunan untuk mencipatakan kesempatan kerja baru dan merangsang peningkatan kegiatan ekonomi.
    Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses, yaitu proses yang mencakup pembentukan institusi - institusi baru, pembangunan indistri - industri alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, alih ilmu pengetahuan, dan pengembangan perusahaan-perusahaan baru.

    Setiap upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah. Dalam upaya untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah daerah dan masyarakatnya harus secara bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan daerah. Oleh karena itu pemerintah daerah berserta pertisipasi masyarakatnya dan dengan menggunakan sumber daya-sumber daya yang ada harus mampu menaksir potensi sumber daya yang diperlukan untuk merancang dan membangun perekonomian daerah.

    Pembangunan ekonomi nasional sejak PELITA I memang telah memberi hasil positif bila dilihat pada tingkat makro. Tingkat pendapatan riil masyarakat rata-rata per kapita mengalami peningkatan dari hanya sekitar US$50 pada pertengahan dekade 1960-an menjadi lebih dari US$1.000 pada pertengahan dekade 1990-an. Namun dilihat pada tingkat meso dan mikro, pembangunan selama masa pemerintahan orde baru telah menciptakan suatu kesenjangan yang besar, baik dalam bentuk personal income, distribution,  maupun dalam bentuk kesenjangan ekonomi.

    Hasil pembangunan ekonomi nasional selama pemerintahan orde baru menunjukkan bahwa walaupun secara nasional laju pertumbuhan ekonomi nasional rata-rata per tahun tinggi namun pada tingkat regional proses pembangunan selama itu telah menimbulkan suatu ketidak seimbangan pembangunan yang menyolok antara indonesia bagian barat dan indonesia bagian timur. Dalam berbagai aspek pembangunan ekonomi dan sosial, indonesia bagian timur jauh tertinggal dibandingkan indonesia bagian barat.

    Tahun 2001 merupakan tahun pertama pelaksanaan otonomi daerah yang dilakukan secara serentak diseluruh wilayah indonesia. Pelaksanaan otonomi daerah diharapakan dapat menjadi suatu langkah awal yang dapat mendorong proses pembangunan ekonomi di indonesia bagian timur yang jauh lebih baik dibanding pada masa orde baru. Hanya saja keberhasilan pembangunan ekonomi indonesia bagian timur sangat ditentukan oleh kondisi internal yang ada, yakni berupa sejumlah keunggunlan atau kekeuatan dan kelemahan yang dimiliki wilayah tersebut. 





Beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya ketimpangan antar wilayah menurut Sjafrizal (2012) yaitu :
1. Perbedaan kandungan sumber daya alam
Perbedaan kandungan sumber daya alam akan mempengaruhi kegiatan produksi pada daerah bersangkutan. Daerah dengan kandungan sumber daya alam cukup tinggi akan dapat memproduksi barang-barang tertentu dengan biaya relatif murah dibandingkan dengan daerah lain yang mempunyai kandungan sumber daya alam lebih rendah. Kondisi ini mendorong pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan menjadi lebih cepat. Sedangkan daerah lain yang mempunyai kandungan sumber daya alam lebih kecil hanya akan dapat memproduksi barang-barang dengan biaya produksi lebih tinggi sehingga daya saingnya menjadi lemah. Kondisi tersebut menyebabkan daerah bersangkutan cenderung mempunyai pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat.

2. Perbedaan kondisi demografis
Perbedaan kondisi demografis meliputi perbedaan tingkat pertumbuhan dan struktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, perbedaan kondisi ketenagakerjaan dan perbedaan dalam tingkah laku dan kebiasaan serta etos kerja yang dimiliki masyarakat daerah bersangkutan. Kondisi demografis akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja masyarakat setempat. Daerah dengan kondisi demografis yang baik akan cenderung mempunyai produktivitas kerja yang lebih tinggi sehingga hal ini akan mendorong peningkatan investasi yang selanjutnya akan meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah tersebut.

3. Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa
Mobilitas barang dan jasa meliputi kegiatan perdagangan antar daerah dan migrasi baik yang disponsori pemerintah (transmigrasi) atau migrasi spontan. Alasannya adalah apabila mobilitas kurang lancar maka kelebihan produksi suatu daerah tidak dapat di jual ke daerah lain yang membutuhkan. Akibatnya adalah ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung tinggi, sehingga daerah terbelakang sulit mendorong proses pembangunannya.

4. Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah
Pertumbuhan ekonomi akan cenderung lebih cepat pada suatu daerah dimana konsentrasi kegiatan ekonominya cukup besar. Kondisi inilah yang selanjutnya akan mendorong proses pembangunan daerah melalui peningkatan penyediaan lapangan kerja dan tingkat pendapatan masyarakat.

5. Alokasi dana pembangunan antar wilayah
Alokasi dana ini bisa berasal dari pemerintah maupun swasta. Pada sistem pemerintahan otonomi maka dana pemerintah akan lebih banyak dialokasikan ke daerah sehingga ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung lebih rendah. Untuk investasi swasta lebih banyak ditentukan oleh kekuatan pasar. Dimana keuntungan lokasi yang dimiliki oleh suatu daerah merupakan kekuatan yang berperan banyak dalam menark investasi swasta. Keuntungan lokasi ditentukan oleh biaya transpor baik bahan baku dan hasil produksi yang harus dikeluarkan pengusaha, perbedaan upah buruh, konsentrasi pasar, tingkat persaingan usaha dan sewa tanah. Oleh karena itu investai akan cenderung lebih banyak di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan.


Menurut Adelman dan Morris (1973):
Adelman dan Morris (1973) dalam Arsyad (2010) mengemukakan 8 faktor yang menyebabkan ketidakmerataan distribusi pendapatan di negara-negara sedang berkembang, yaitu: 
  1. Pertambahan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya pendapatan per kapita; 
  2. Inflasi di mana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang; 
  3. Ketidakmerataan pembangunan antar daerah; 
  4. Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal (capital intensive), sehingga persentase pendapatan modal dari tambahan harta lebih besar dibandingkan dengan persentase pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah; 
  5. Rendahnya mobilitas sosial; 
  6. Pelaksanaan kebijaksanaan industri substitusi impor yang mengakibatkan kenaikan hargaharga barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha golongan kapitalis; 
  7. Memburuknya nilai tukar (term of trade) bagi negara-negara sedang berkembang dalam perdagangan dengan negara-negara maju, sebagai akibat ketidak elastisan permintaan negara-negara terhadap barang ekspor negara-negara sedang berkembang; dan 
  8. Hancurnya industri-industri kerajinan rakyat seperti pertukangan, industri rumah tangga, dan lain-lain.
Kesimpulan dari semua studi-studi tersebut adalah bahwa faktor-faktor utama penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi antar provinsi di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Kosentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah
Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan pembangunan antar daerah. Ekonomi dari daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi tinggi cenderung tumbuh pesat. Sedangkan daerah dengan tingkat konsentrasi ekonomi rendahan cenderung mempunyai tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah. Di Indonesia, strategi pembangunan ekonomi nasional yang diterapkan selama pemerintahan Orde Baru membuat secara langsung maupun tidak langsung terpusatnya pembangunan ekonomi di Jawa, khususnya Jawa Barat dan Jawa Timur, dan hingga tingkat tertentu di Sumatra. Ini membuat terbelakangnya pembangunan ekonomi diprovinsi-provinsi di luar Jawa, khususnya di IKT.
Selain itu, memusatnya pembangunan ekonomi di Jawa juga disebabkan oleh berbagai hal lain, di antaranya ketersediaan infrastruktur dan letak geografis. Ekspansi ekonomi dalam pola seperti ini terbukti mempunyai pengaruh yang merugikan bagi daerah-daerah lain, karena L dan K yang ada, serta kegiatan perdagangan pindah dari daerah-daerah di luar Jawa ke Jawa. Khususnya migrasi L, baik dari kategori L berpendidikan rendah maupun berpendidikan tinggi terus mengalir ke Jawa, sehingga merugikan daerah-daerah lain salah satu faktor produksi penting hilang di daerah-daerah. Kerugian yang dialami banyak daerah di luar Jawa, khususnya IKT, karena terpusatnya kegiatan ekonomi nasional di Jawa adalah salah satu contoh konkret dari apa yang dimaksud dengan efek “penyurutan” dari kegiatan ekonomi yang terpusatkan di suatu daerah. Namun, sebenarnya kegiatan ekonomi yang terpusatnya di Jawa tidak harus sepenuhnya merugikan semua daerah lain, khususnya yang dekat dengan Jawa; atau tidak harus memperbesar efek-efek polarisasi. Paling tidak dalam teori, pembangunan ekonomi yang pesat di Jawa selama ini bisa juga memberi banyak keuntungan, misalnya dalam bentuk ekspor dari daerah-daerah tersebut ke Jawa meningkat dan berarti dampak positif terhadap pertumbuhan kesempatan kerja dan pendapatan di daerah-daerah tersebut.
2. Alokasi Investasi
Indikator lain yang juga menujukkan pola serupa adalah distribusi investasi (I) langsung, baik yang bersumber dari luar negeri (PMA) mau pun dari dalam negeri (PMDN). Berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi dari Harrod-Domar yang menerangkan adanya korelasi positif antara tingkat I dan laju pertumbuhan ekonomi, dapat di katakan bahwa kurangnya I di suatu wilayah membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat per kapita di wilayah tersebut rendah , karena tidak ada kegiatan kegiatan ekonomi yang produktif seperti industri manufaktur.




SUMBER : http://aping28.blogspot.co.id/2015/04/pembangunan-ekonomi-regional.html 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar